Monday, November 26, 2012

Edukasi? Memperkeruh atau Memperbaiki Kita?


Edukasi dimulai dari dalam rumah, yang nantinya berkembang ke luar. Gambaran dari hasil edukasi non formal itu pun tergambar di setiap tingkah dan perilaku keluarga. Contoh kecil yang ada di dekat kita, suatu sore Bambang kecil lari terbirit – birit, layaknya zebra yang diburu singa. Ekspresi ketakutan anak kelas 6 SD itu tidak disangka muncul karena dikejar abangnya sendiri. Dengan pisau dapur ditangannya, ia tidak dapat menahan amarah yang menggebu.

Saat itu Bambang yang sedang mengerjakan tugas geografi, berusaha menahan untuk buang air kecil karena ia ingin menyelesaikan tugasnya yang hampir selesai. Kebetulan tugasnya itu adalah tugas kelompok yang dikerjakan di rumahnya bersama Joni. Kebetulan tugasnya hanya memakan waktu setengah hari, dan dikerjakan hari sabtu, jadi mereka memutuskan untuk menyelesaikannya malam hari. Tugasnya adalah untuk membuat maket peta Kalimantan dengan menggunakan bahan dasar bubur koran yang nantinya diwarnai dan diberi penjelasan. Kira – kira sekitar jam 6 sore, akhirnya tugas itu pun selesai. Bambang dengan terburu – buru lari menuju kamar mandi. Kebetulan pintu tidak dikunci, maka ia pun langsung mendorong pintu. Dengan tidak disengaja sisi siku pintu membentur pelipis abangnya yang sedang ada di dalam. “maaf, maaf, maaf, maaf….” Secara spontan Bambang meminta maaf dengan panik. Dilihatnya mengucur darah dari pelipis abangnya. Ia pun segera menuju ruang keluarga untuk menunggu abangnya keluar. Tidak lama, sekitar lima menit, ia melihat abangnya yang keluar dari kamar mandi. Tetapi entah kenapa ia merasakan kejanggalan yang membuatnya tidak langsung ke kamar mandi ataupun minta maaf ke abangnya. Abangnya pun tidak langsung menuju kamar, ia malah langsung menuju dapur. Begitu abangnya keluar dari dapur ia langsung menuju ke ruang keluarga tempat dimana Bambang terdiam menahan untuk buang air kecil. Tampak sesosok remaja yang menakutkan. Dengan mata merah dan pisau dapur ditangan kanannya, adiknya tegang ketakutan setengah mati lari menuju kamar asisten rumah tangga. Begitu ia di dalam kamar, pintu langsung ia kunci. Tidak lama terdengar suara keras dari pisau yang ditusuk – tusukan ke pintu oleh abangnya. “KELUAR LO!!” dengan marah abangnya teriak sambil menusuk – nusukan pisau. Si mbak ketakutan dan langsung memanggil ayah Bambang yang memang bekerja dan sering menghabiskan waktu di rumah, terutama di kamarnya. Begitu sang ayah keluar, ia hanya bertanya, “ ada apa ini? “ dan begitu dijelaskan asisten rumah tanggnya mengenai kejadian tersebut, ia dengan tidak peduli masuk ke kamar lagi. Setelah hampir dua jam, sekitar jam 8 malam, sang ibu datang karena ditelepon si mbak. Begitu ia sampai rumah, terlihat si abang yang masih menunggu adiknya di luar pintu kamar mbak dengan pisau tetap digenggam.

Seperti itulah cerminan dari banyak keluarga di abad 21. Nilai – nilai moral dan etika yang semestinya menjadi edukasi non formal yang harus ditanamkan dimulai dari tahapan keluarga, kini mulai lepas dari akarnya. pendidikan, betapa ia baik ataupun buruk pengaruhnya, telah hadir di sekitar kita semenjak lahir. Makna pendidikan sendiri bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain, dan dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, pendidikan seharusnya dipahami sebagai satu hal yang sifatnya unik dan juga konstektual, sesuai dengan latar belakang budaya dan logika yang terbangun di tiap-tiap wilayah.

Dalam kenyataannya di Indonesia saat ini, kita cenderung bergantung pada sistem pendidikan formal (serta berbagai elemen yang terlibat di dalamnya), sebagai satu – satunya jenjang pendidikan yang kita rasakan betul manfaat serta pengaruhnya dalam kehidupan kita. Padahal, sistem pendidikan formal yang kita jalankan tersebut merupakan terjemahan dari manifestasi kebudayaan Barat (Eropa dan Amerika) yang tidak tepat, dan tanpa disertai pemahaman konteks yang memadai.

Sementara itu, pendidikan melalui keluarga dan adat istiadat semakin terdesak, dan kebanyakan telah ditinggalkan oleh generasi muda. Dan pada akhirnya, kita seringkali tidak bias menilai apakah pendidikan benar – benar membuat kita menjadi lebih bai, atau buruk.

Lemahnya pemahaman kita mengenai pendidikan yang terdapat di sekitar kita, membuat kita semakin buta akan keadaan sekitar. Dimana tradisi dari pembelajaran itu sendiri adalah terus bertanya ulang mengenai suatu penemuan atau ilmu yang ada. Sehingga timbul pertanyaan, “apakah kita termasuk orang yang teredukasi?”

No comments:

Post a Comment