Edukasi dimulai dari dalam rumah,
yang nantinya berkembang ke luar. Gambaran dari hasil edukasi non formal itu
pun tergambar di setiap tingkah dan perilaku keluarga. Contoh kecil yang ada di
dekat kita, suatu sore Bambang kecil lari terbirit – birit, layaknya zebra yang
diburu singa. Ekspresi ketakutan anak kelas 6 SD itu tidak disangka muncul
karena dikejar abangnya sendiri. Dengan pisau dapur ditangannya, ia tidak dapat
menahan amarah yang menggebu.
Saat itu Bambang yang sedang
mengerjakan tugas geografi, berusaha menahan untuk buang air kecil karena ia
ingin menyelesaikan tugasnya yang hampir selesai. Kebetulan tugasnya itu adalah
tugas kelompok yang dikerjakan di rumahnya bersama Joni. Kebetulan tugasnya
hanya memakan waktu setengah hari, dan dikerjakan hari sabtu, jadi mereka
memutuskan untuk menyelesaikannya malam hari. Tugasnya adalah untuk membuat
maket peta Kalimantan dengan menggunakan bahan dasar bubur koran yang nantinya
diwarnai dan diberi penjelasan. Kira – kira sekitar jam 6 sore, akhirnya tugas
itu pun selesai. Bambang dengan terburu – buru lari menuju kamar mandi.
Kebetulan pintu tidak dikunci, maka ia pun langsung mendorong pintu. Dengan
tidak disengaja sisi siku pintu membentur pelipis abangnya yang sedang ada di
dalam. “maaf, maaf, maaf, maaf….” Secara spontan Bambang meminta maaf dengan
panik. Dilihatnya mengucur darah dari pelipis abangnya. Ia pun segera menuju
ruang keluarga untuk menunggu abangnya keluar. Tidak lama, sekitar lima menit,
ia melihat abangnya yang keluar dari kamar mandi. Tetapi entah kenapa ia
merasakan kejanggalan yang membuatnya tidak langsung ke kamar mandi ataupun
minta maaf ke abangnya. Abangnya pun tidak langsung menuju kamar, ia malah
langsung menuju dapur. Begitu abangnya keluar dari dapur ia langsung menuju ke
ruang keluarga tempat dimana Bambang terdiam menahan untuk buang air kecil.
Tampak sesosok remaja yang menakutkan. Dengan mata merah dan pisau dapur
ditangan kanannya, adiknya tegang ketakutan setengah mati lari menuju kamar
asisten rumah tangga. Begitu ia di dalam kamar, pintu langsung ia kunci. Tidak
lama terdengar suara keras dari pisau yang ditusuk – tusukan ke pintu oleh
abangnya. “KELUAR LO!!” dengan marah abangnya teriak sambil menusuk – nusukan
pisau. Si mbak ketakutan dan langsung memanggil ayah Bambang yang memang
bekerja dan sering menghabiskan waktu di rumah, terutama di kamarnya. Begitu
sang ayah keluar, ia hanya bertanya, “ ada apa ini? “ dan begitu dijelaskan
asisten rumah tanggnya mengenai kejadian tersebut, ia dengan tidak peduli masuk
ke kamar lagi. Setelah hampir dua jam, sekitar jam 8 malam, sang ibu datang
karena ditelepon si mbak. Begitu ia sampai rumah, terlihat si abang yang masih
menunggu adiknya di luar pintu kamar mbak dengan pisau tetap digenggam.
Seperti itulah cerminan dari banyak
keluarga di abad 21. Nilai – nilai moral dan etika yang semestinya menjadi
edukasi non formal yang harus ditanamkan dimulai dari tahapan keluarga, kini
mulai lepas dari akarnya. pendidikan, betapa ia baik ataupun buruk pengaruhnya,
telah hadir di sekitar kita semenjak lahir. Makna pendidikan sendiri bervariasi
dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang
lain, dan dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, pendidikan seharusnya dipahami
sebagai satu hal yang sifatnya unik dan juga konstektual, sesuai dengan latar
belakang budaya dan logika yang terbangun di tiap-tiap wilayah.
Dalam kenyataannya di Indonesia
saat ini, kita cenderung bergantung pada sistem pendidikan formal (serta
berbagai elemen yang terlibat di dalamnya), sebagai satu – satunya jenjang
pendidikan yang kita rasakan betul manfaat serta pengaruhnya dalam kehidupan
kita. Padahal, sistem pendidikan formal yang kita jalankan tersebut merupakan
terjemahan dari manifestasi kebudayaan Barat (Eropa dan Amerika) yang tidak
tepat, dan tanpa disertai pemahaman konteks yang memadai.
Sementara itu, pendidikan melalui
keluarga dan adat istiadat semakin terdesak, dan kebanyakan telah ditinggalkan
oleh generasi muda. Dan pada akhirnya, kita seringkali tidak bias menilai
apakah pendidikan benar – benar membuat kita menjadi lebih bai, atau buruk.
Lemahnya pemahaman kita mengenai
pendidikan yang terdapat di sekitar kita, membuat kita semakin buta akan
keadaan sekitar. Dimana tradisi dari pembelajaran itu sendiri adalah terus
bertanya ulang mengenai suatu penemuan atau ilmu yang ada. Sehingga timbul
pertanyaan, “apakah kita termasuk orang yang teredukasi?”
No comments:
Post a Comment