Monday, December 10, 2012

Hidup Lebih Enteng Kalau Nebeng


Kemacetan seharusnya bukan sesuatu yang wajar. Tapi, karena hal itu terus menerus terjadi, masyarakat seakan nrimo dan mau tak mau pasrah menghadapi kemacetan. Padahal sih, gondok juga kalau harus duduk berjam – jam di dalam mobil. Ungkapan “tua di jalan” yang sering terlontar dari mulut para pengendara ternyata ada benarnya. Gara – gara macet, menurut data Ditlantas Polda Metro Jaya, dalam setahun warga Jabodetabek hidup di jalan selama 1 bulan, dihitung dari 60 jam per bulannya hasil bermacet – macetan ria. Jika dibandingkan dengan 8 jam kerja efektif per hari, maka 720 hari dibagi 8 jam kerja hasilnya setara dengan tiga bulan hari kerja.
Bukan warga Jakarta namanya kalau belum kena sindrom Pamer Paha di jalanan, alias Padat Merayap Tanpa Harapan. Jumlah kendaraan motor di tahun 2012 saja diperkirakan mencapai lima belas juta unit, tentu tidak sebanding dengan kapasitas jalan yang ada. Otomatis kemacetan parah tidak dapat dihindari. Hal serupa juga dialami oleh Rudyanto Linggar setiap berangkat kerja dari Karawaci menuju Cakung. Puncaknya di tahun 2005 saat ia bersama ratusan pengguna jalan lainnya sedang “menikmati” panas dan macetnya jalan tol Jakarta – Merak, muncul sebuah gagasan untuk membuat sedikit perubahan positif.
“Banyak mobil yang masih dikendarai sendiri – sendiri. Sebenarnya kemacetan bisa dikurangi, asalkan dua mobil jadi satu mobil.” Papar Rudy, panggilan akrab Rudyanto, saat ditemui di kantornya di Ruko Lippo Village.
Rudy kemudian mulai mengajak teman dan keluarganya yang tujuannya satu arah untuk nebeng di mobilnya. Berawal dari rutinitas ini, pada 28 September 2005, ia bersama istri dan seorang rekannya meluncurkan nebeng.com sebagai sarana komunikasi yang memfasilitasi kebutuhan para pengguna jalan. Di nebeng.com, mereka dapat mencari teman seperjuangan untuk berangkat ke tujuan. Pria kelahiran Malang, 30 Januari 1974 itu lebih lanjut mengatakan, tujuan diluncurkan website tersebut sebenarnya simple. Ia ingin membantu warga untuk menghemat ongkos bensin sekaligus berkontribusi untuk mengurangi kemacetan yang nggak ada habisnya di ibu kota dan kota – kota sekitarnya. Apalagi pada waktu itu pemerintah akan mulai memberlakukan kenaikan harga BBM dua kali lipat, dari Rp 2.400 menjadi Rp 4.500 per liternya. Lantas, situs tersebut mendapat respon yang luarbiasa. Hanya dalam waktu sebulan setelah nebeng.com beroperasi, sekitar dua ribu orang telah mendaftar keanggotaan.
Pria yang juga memiliki usaha di bidang software komputer mengaku, sebagai pengelola situs nebeng.com dirinya hanya berperan sebagai biro jodoh, mempertemukan penebeng dan pemberi tebengan. Tapi tidak bisa sembarangan untuk tebeng menebeng di komunitas ini. Berbeda dengan taksi gelap atau joki three – in – one yang beredar di jalanan, komunitas yang menggelar “kopi darat” setiap satu tahun sekali ini menawarkan keamanan dan kenyamanan. “Di sana (nebeng.com, -red) mereka harus mengisi informasi pribadi yang valid beserta nomor telepon atau email yang masih aktif. Lalu, tim kami akan melakukan verifikasi lebih lanjut dengan cara mengecek ke kantor atau menelepon ke rumah yang bersangkutan, apakah si orang ini benar – benar ‘ada’.” Ungkapnya. Dibanding menggunakan joki – joki cabutan yang tidak jelas asal usulnya, dengan verifikasi dan akun profil layaknya facebook memungkinkan para anggota untuk saling mengenal terlebih dahulu sebelum menebeng. Selain itu, bagi para pemberi tebengan wajib hukumnya untuk menjelaskan kondisi kendaraan mereka, apakah bebas atau dilarang merokok, ladies only, kebersihan, dan juga kapasitasnya. Dengan demikian para penebeng dapat mencari dan memilih tebengan sesuai dengan kebutuhan masing – masing.
“Urusan tarif dan tempat pertemuan tergantung pada kesepakatan di antara mereka, kalau sudah menemukan yang sejalur (arah tujuan).” Kata anak kedua dari lima bersaudara tersebut. Rudy kemudian mengutarakan bahwa ia memprakarsai berdirinya komunitas ini adalah agar bersama – sama menghemat pengeluaran, yang kemudian diharapkan dapat dialokasikan kepada kebutuhan sehari – hari lainnya. Idenya, pemberi tebengan dan penebeng patungan untuk ngisi bensin. Tetapi tidak jarang ditemukan kasus, penebeng mentraktir si empunya mobil atau bahkan nebeng secara cuma – cuma. Rudy benar – benar menyerahkan semuanya kepada orang yang bersangkutan.
Banyak cerita menarik dari komunitas yang pada awalnya eksis hanya lewat email dan milis ini. Frekuensi waktu bertemu yang cukup rutin antara penebeng dan yang ditebengin membuat mereka menambah teman baru, malah kalau beruntung, jadi rekan bisnis. Sylvia, istri Rudy, menambahkan, pembicaraan yang awalnya cuma basa – basi biar nggak “garing” di jalan tanpa disadari berlanjut ke hal – hal yang pribadi. Curhat masalah kantor, sehari - hari, bahkan problem rumah tangga kerap terlontar begitu saja tanpa tedeng aling aling, demi membunuh suntuk menunggu sampai di tujuan.
“Ya kita sih yang nyetir, sambil dengerin mereka curhat. Paling iya – iya aja. Hahaha… Daripada dibawa ngantuk di jalan kan?” Sambungnya. 
Dari yang awalnya “hanya” beranggotakan 2.000 orang, kini nebeng.com tercatat memiliki 47 ribu anggota yang mayoritas bermukim di Jabodetabek, Bandung, sampai Surabaya, dengan jumlah penebeng mencapai 28 ribu dan pemberi tebengan sekitar 19 ribu orang. Dengan perkiraan para penebeng menggunakan mobil pribadi yang menghabiskan lima liter bensin dalam sehari, Komunitas Nebeng telah ikut berkontribusi dalam menghemat 140 ribu liter BBM per hari. Berkurang pula jumlah kendaraan yang sibuk lalu lalang di jalanan, sekitar 28 ribu per hari. Rencana ke depannya, ulas Rudy, ia menginginkan komunitas ini berkembang di seluruh Indonesia dan memiliki kapasitas hosting yang lebih besar untuk situsnya agar dapat beroperasi selayaknya Facebook yang lebih cepat dan mudah diakses oleh semua orang. (Ajeng Quamila)

"Aku Keluar Dari Tubuhku."


Sore itu asrama sudah mulai ramai. Pukul setengah lima sore adalah jam pulangnya mahasiswa UPH. Kami duduk berhadapan di sebuah sofa merah hati, di ruang tamu lantai 6, asrama Gedung G. Beti duduk santai bersandar dengan kakinya dilipat di atas sofa. Seragam kuliahnya masih belum ia ganti, katanya ia baru saja pulang. Beti mulai menceritakan awal mula pengalamannya “keluar” dari tubuhnya.

Kumpul Komunitas


Padatnya pengunjung ditambah suara nyaring dari segala spesies jenis binatang unik mewarnai lantai dasar Mall WTC Mangga Dua. Mata dan rasa ingin tahu para pengunjung dibuat penasaran dengan segala jenis binatang yang jarang untuk dipelihara. Luwak, Arwana, Super glidder (Possum), Landak Mini, Ular Sanca, dan Burung Kakak Tua menjadi pemandangan unik di acara IPPAE (Indonesia Pet,Plant, Aquatic) siang itu.

Acara yang diselenggarakan tiap tahun ini menjadi ajang kumpul-kumpul pecinta hewan unik di Indonesia.  “Acara IPPAE bertujuan meningkatkan antusiasme para penggemar dan komunitas hewan,” kata Siska, panitia IPPAE 2012.

Berbagai macam komunitas hadir disini, seperti komunitas Hedgehog Lover Indonesia, Super Glidder Indonesia, Pecinta Arwana dan komunitas lainnya.

Acara yang diadakan dari tanggal 1-9 Desember tersebut memberi kesempatan bagi komunitas-komunitas tersebut untuk mensosialisasikan serta mencari keuntungan dari penjualan hewan peliharaan mereka.


Salah satu anggota HeLi (Hedgehog Lover Indonesia) mengaku mendapat keuntungan dan manfaat besar di acara ini. “Gue bisa menjual Landak Mini dan lumayan bisa dapet 150 ribu sampe 300 ribuan sekalian bisa kumpul sama temen-temen,” kata Biondy sambil memegang Hedgehognya yang bernama Snowy di tangannya.



BOLA BERDURI BERLARI



“Priiitt...!!!” Suara peluit terdengar dari seorang laki-laki. Empat kaki kecil berlari-lari memutari sirkuit Tamiya. Hidungnya mancung seperti moncong babi. Mata dan mukanya persis hamster, namun badan mungilnya dipenuhi oleh duri-duri setajam tusuk gigi.

Landak mini dengan corak cokelat di duri-durinya berjuang memenangkan lomba lari melawan rivalnya landak albino. Kedua hewan yang biasa disebut Hedgehog ini terus berlari tanpa arah. Ada yang terus maju, dan malah ada yang mundur. Setelah dua putaran yang melelahkan, Hedgehog bercorak cokelat  milik Anggia memenangkan lomba di acara IPPAE (Indonesia Plant Pet, Plant, Aquatic) yang diselenggarakan di WTC Mangga Dua, Jakarta Utara.                                                                    
                                                                            
                                                                                                                                  
Landak Mini atau African Pigmy adalah sejenis binatang mamalia dengan rentang umur sampai 10 tahun. Duri-durinya tidak beracun atau berkait seperti landak jawa. Pertahanan yang dimiliki dari semua spesies Landak Mini adalah kemampuan untuk menggulung jadi bola duri. “Memelihara Hedgehog itu gampang banget! Kasih makan ulat dan serangga aja dan sikat badannya dua kali seminggu pake shampoo dee dee yang tidak pedih di mata,” kata Achi pemilik Hedgehog bernama Unyu ini.

Aksi dari binatang “nocturnal” atau aktif di malam hari ini tidak sampai disini saja. Perlombaan lomba makan ulat Hongkong dan Labirin semakin membuat gemes dan gregetan pengunjung di siang itu.

Cooking course a la Jakarta Culinary Center


Belakangan ini, semakin banyak chef muda berbakat muncul di Televisi yang sebagian besar adalah kaum laki-laki. Hal ini mematahkan anggapan bahwa, siapa bilang memasak identik dengan wanita?
Jakarta Culinary Center (JCC) adalah sekolah kuliner pertama di Jakarta, yang bervisi dan misi; Menjadi Institut kuliner yang mengembangkan potensi dan passion masyarakat di bidang kuliner, dan mempersiapkan sumber daya dengan ketrampilan serta wawasan yang lebih luas tentang food & beverage. Sekolah ini menggunakan system pembelajaran dan kurikulum yang terbaik, dengan 70% praktik langsung dan 30% teori, oleh para pengajarnya yang merupakan chef-chef hotel bintang lima, pengusaha sukses di bidang kuliner, dan culinary expert.
JCC memiliki fasilitas-fasilitas penunjang seperti peralatan dapur, peralatan khusus pastry, dan ruang memasak yang nyaman berstandard internasional.
Paket program belajar memasak yang ditawarkan beragam, seperti Intensive Pastry and Bakery, Saturday Program, Mahir Memasak, Pengembangan Usaha Catering, serta Art Cooking Program. Ada pula salah satu paket program unggulan JCC, yaitu Professional Program. Program ini adalah pendidikan memasak selama 12 bulan bagi calon professional chef, yang setara dengan Diploma satu. Untuk program ini, JCC memfasilitasi siswa yang berminat training di hotel berbintang, dalam maupun luar kota.
“Sampai saat ini, Jakarta Culinary Center sudah memasuki angkatan ke 43, dan sebagian besar siswa nya adalah laki-laki. Menurut kami gender itu bukan sebuah halangan untuk memasak karena semua itu kembali kepada niat dan passion masing-masing. Setiap lulusan dari JCC akan mendapatkan ijazah dan sertifikat.” Ujar Mbak Linda, perwakilan dari Jakarta Culinary Center.
Jakarta Culinary Center memiliki 4 lokasi, yaitu  Rukan Permata Senayan Blok A/29, Sonatopas Tower lantai B1, Mall Ciputra lantai 5 – 22A, dan Jl. M.T. Haryono No. 102, Semarang,
Jawa Tengah.
So, who wants to be the next masterchef?

Live at Rossi Musik


Kemacetan setelah jam kerja adalah satu hal yang sudah tidak asing lagi bagi warga Jakarta. Hal ini kerap kali membuat kita membutuhkan sebuah penyegaran ditengah hectic-nya aktifitas yang tanpa henti. Untuk sebagian orang, musik bisa senantiasa menjadi hal yang esensial untuk memberi rasa senang pada diri individunya. Dan Rossi Music adalah sebuah tempat yang tepat untuk melepas kepenatan dengan caranya yang berbeda.
Rossi Music merupakan sebuah tempat yang terletak di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Tempat ini memiliki sekolah musik, record studio, dan venue untuk acara di lantai paling atasnya sebagai korelasi untuk industri musik yang sehat. Rossi Music juga memiliki acara-acara rutin di setiap minggunya, yang salah satunya adalah Live at Rossi.
“Live at Rossi diadakan setiap 2 minggu sekali, setiap hari rabu. Kami memilih hari rabu, karena kami ingin menawarkan sebuah perfect gateaway dari kebisingan di pertengahan minggu. Musik, live perfomance, booze, memandangi kemacetan dari rooftop venue… Itulah simple pleasure yang kami tawarkan.” Ujar Abim, salah seorang perwakilan dari tim di balik kesuksesan acara ini.
Abim juga menyebutkan, bahwa Live at Rossi sendiri dibuat dengan sangat konseptual dan well programmed. Terlalu sensitf apabila acara ini disebut party, karena lebih cenderung sebagai sebuah gig atau celebration dengan tema-tema tertentu. Acara ini juga digunakan sebagai media atau jembatan untuk mengembangkan karakter dan identitas Jakarta melalui musik.
Dengan tampilan venue yang baru, Live at Rossi juga diharapkan bisa menjadi sebuah sarana bagi industri musik sehat untuk kaum minoritas melalui elemen-elemen yang mereka coba untuk bangun secara spesifik. Elemen-elemen yang dimaksud adalah jenis musik, konteks, venue, pertujukan, dan orang-orang di dalamnya sendiri. “Live at Rossi adalah melting point dari bertemunya para musisi, seniman, produser, record engineer, penikmat musik, dan yang lainnya.”
Live at Rossi telah menjadi agenda rutin Rossi Music selama 2 tahun terakhir. Pertama kali diadakan pada bulan Juni tahun 2009, dengan tujuan utama yaitu education and sharing for youth. Abim percaya, bahwa musik bisa merubah pola pikir dan sebagai kadar intelektual. “Music is about feeling, you know where you belong.” Jelasnya.
“Ada performance dari beberapa band dan 2 DJ dengan plat-plat rare yang mengisi setiap Live at Rossi. Genre-nya pun bebas dan beragam. Kami cukup mengatur program dan jadwal genre-genre musik yang akan kami suguhkan di setiap acaranya. Selain sebagai tempat untuk melepas penat, dan ajang berkumpul, kami juga ingin Live at Rossi bisa berbagi tentang sejarah-sejarah musik sebagai ilmu pengetahuan untuk para pengunjungnya. Karena semakin kita  tahu banyak, semakin banyak pula yang kita tidak tahu.” Tutur Abim panjang lebar.
Untuk beberapa bulan terakhir, acara Live at Rossi ini sedang mengalami masa “libur”nya. “Kami sedang mencoba untuk membuat program baru yang lebih bagus dari yang sudah ada. Untuk sementara ini space waktu untuk Live at Rossi diisi dengan acara musik Reggae yang tidak kalah seru. Kita bisa bergoyang sambil menikmati musik dan minuman yang tersedia dengan harga yang sangat terjangkau. Dan satu lagi, acara-acara ini gratis.”
Di balik acara ini, Abim dibantu oleh 7 orang temannya yang tergabung atas sebuah tim di luar dari komunitas atau kelompok tertentu.
“It’s not a party, it’s a research for a better living.” Ucap Abim seraya menutup perbincangan malam itu.

36th Session of Listen to the World Offline Series Coverage



Some say change is inevitable, others say change is necessary, and many say change is the most constant thing in the world. What is change anyway? How we should deal with it? What happens when things don't change?

JAKARTA - November 30th, Kebayoran Baru, Namarina studio 1. It was rainy season in Indonesia and combined with the weekend, it caused traffic jam all over Jakarta. But it didn't change their consistency to do their routines. Listen to the World held the 36th Offline Series at Namarina Kebayoran. It coincided with LttW's 3rd year anniversary, the topic discussed was about ‘change', which was titled, "Change Is A Must, Isn't It?" It started later than the usual, precisely at 09.15 pm, and the forum began with greetings and introduction by the team and the audiences. Pattraditya Pangestu supported by Aryo Adhianto moderated the discussion. The goal of the discussion is to build a better understanding, taking into consideration the meaning, purpose, and characters of "change" around us.

The first session of the discussion was equating our perception about change. In the second session we tried to build a better sensibility, by showing three examples. First, was Marzuki Hasan who usually goes by Pak Uki - the unchanged man in changed settings, the second was Gringsing - the struggling aspect of the Tengananese's (East Bali, Indonesia) tradition between the change and unchanged, and last was Jakarta, examples of the almost changing things around us, closed by music performance by Lukito Hartawan (acoustic guitar) and Aga (harmonica) playing Blues. The third session was a process for the forum to build a comprehensive and better understanding about change; by discussing the choices we have, on the things that have to change and the things that do not have to change? Or do we understand the consequences of change? In purpose to understand the meaning of change was mutually agreed.

To change or not, is entirely up to what we want

We learnt from Pak Uki that change doesn't have to happen for certain things. Wherever he went, whoever he's with, he never changed. He was always himself, carries his Acehnese in order to spread the value of beauty, love, and brotherhood to the world. On the other hand, in today's condition while the value of Gringsing is now seen not only as the outcome of the set of systems within a culture, but also as the means of production to make a living* (LttW article - "Gringsing amid Changing Times", Adikara Rachman, 2012). Gringsing tells us that we have got to fully understand the consequences of change. And if we let certain things change without knowing the consequences, a good example is Jakarta. A city that is changing rapidly and almost completely, where complaints are never absent while the residents are too busy doing their "business". If we still do not realize what we have been doing and missing, then how can this city ever be calm? How can the complaining ever be converted into proper actions?

With our limited understanding of change itself-what and where is the ground, in what area (spirit and/or manifestation) and the meaning of "towards a betterment," also the ongoing tradition of asking about the ongoing issues and problems-we still didn't have the perspective, about what should have changed, and what shouldn't. Some people will eventually try to change when they realize the situation is no longer ideal, while others are afraid of the consequences of change, pretending as if nothing has happened, even when changes can no longer be avoided. What is even more painstaking is when we realize that our situation is not getting any better, but worse, yet we still think of our own needs and ego. With this kind of situation arises questions such as "is there a better place to live, if we just keep thinking about our own self?" Or, "will our lives be better if we start to think about others?" But the main question is, instead of building mutually beneficial relationships, will we ever reach a better life by ignoring one another in order to protect one's self interest? Well, I guess this situation is the only thing that hasn't change since I was a kid. And sadly, this may take a while.