Sore itu asrama sudah mulai ramai. Pukul setengah lima sore adalah jam pulangnya mahasiswa UPH. Kami duduk berhadapan di sebuah sofa merah hati, di ruang tamu lantai 6, asrama Gedung G. Beti duduk santai bersandar dengan kakinya dilipat di atas sofa. Seragam kuliahnya masih belum ia ganti, katanya ia baru saja pulang. Beti mulai menceritakan awal mula pengalamannya “keluar” dari tubuhnya.
Ia masih tinggal di Kalimantan, di kota Tarakan. Logat Melayu-nya kental. Pilihan kata, aksen, dan nada bicaranya seperti orang Malaysia. Hari itu setelah pengumuman kelulusan Beti dan dua temannya boncengan bertiga menuju ke pantai terdekat. Konvoi bersama teman lain dari sekolahnya, rencananya mereka akan merayakan kelulusan di sana. “Kejadiannya waktu aku masih baru lulus SMP, umurku baru 14 tahun... ...Sekalinya pas di pertengahan jalan, aku bawa motor laju-laju. Kami bertemu dengan truck dari berlawanan arah.” Singkat cerita truk tersebut menyeret Beti dan mengupas kulit wajahnya dari bawah hidung sampai dagu. Beti sudah tidak mendengar apa-apa, telinganya mengeluarkan darah. Beti segera dilarikan ke rumah sakit.
“Aku koma hampir satu minggu,” katanya. Beti menceritakan sebelum ia sadar ada sahabatnya, Lina, yang sudah meninggal datang dan mengajak Beti pelayanan. “Ayo, kita pelayanan tambourine di sana, tempat yang paliiing indah,” tiru Beti. Di sana Beti bingung, ia bisa melihat tubuhnya di kasur rumah sakit. Ia hanya duduk diam dengan salah satu pergelangan tangan yang masih menempel dengan tubuh aslinya. Suasana saat itu semuanya putih. “Serasa di awan,” Beti memperjelas. Saat itu Beti mendengar suara hujan, setelah sadar ia baru tahu kalau itu ternyata suara teman-temannya yang menangis di rumah sakit. Lina terus berusaha memaksa Beti ikut dengannya. Di sisi lain Beti bisa mendengar suara mamanya yang memanggil-manggil Beti untuk tidak menetap “di situ”. Tangan Beti ditarik-tarik oleh Lina, semakin kuat Lina menarik, semakin kencang tangan Beti menempel dengan tubuhnya yang di bawah. Malam ke-4 Beti koma, beberapa Pendeta gerejanya datang untuk mendoakan. Di samping kiri dan kanan kepala Beti diletakkan speaker yang memutarkan lagu-lagu rohani dan rekaman khotbah. Malam itu Beti bisa mendengar suara mereka. Mereka menyanyi, memuji, dan menyembah Tuhan bersama, berdoa agar Beti segera sadar.
Selama bercerita, Beti tampak berusaha mengingat. Alisnya bertaut selagi ia berpikir. Sesekali pandangannya menerawang berusaha menggapai memori. Tangannya tidak berhenti bergerak, memperagakan gerakan atau menyentuh bagian-bagian yang ia sebut. Badannya yang kecil tampak menyerah pasrah menempel di sofa. Tapi sama sekali tidak ada mimik takut atau trauma yang tampak di ekspresi wajahnya.
Hal yang diceritakan Beti tadi bukan kasus yang pertama. Di Amerika Serikat, setiap harinya terjadi 774 kasus Near-Death Experience. Pengalaman Mendekati Kematian adalah fenomena yang terjadi ketika sesorang tidak dalam keadaan sadar dan merasa roh nya keluar dari tubuhnya. Ada peristiwa supranatural yang terjadi, orang tersebut bisa melihat tubuhnya sendiri, dia merasa terbang, dan tidak jarang didatangi/bertemu saudara atau teman yang sudah meninggal, sosok spiritual lain, atau bahkan Tuhan. Sebagian yang lagi mengaku melihat cahaya putih yang sangat terang dan besar, kemudia mereka memasukinya. Masyarakat Indonesia sering latah menyebut peristiwa ini sebagai mati suri. Padahal yang disebut mati suri adalah kondisi ketika seseorang sudah dinyatakan meninggal secara medis, namun orang tersebut bisa hidup lagi. Organ vital yang sudah sempat berhenti, kembali berfungsi dengan normal.
Mekanisme yang terjadi di balik Pengalaman Mendekati Kematian adalah fungsi sensori otak yang tidak berjalan baik. Dalam keadaan tidak sadar dan kekurangan oksigen, otak manusia cenderung menerima informasi yang salah, alias salah tafsir. Selain itu otak juga memunculkan sensasi melayang dan melihat tubuhnya sendiri.
Pada tahun 1982, George Gallup. Jr. Melakukan polling yang menunjukkan bahwa lebih dari 100 korban Pengalaman Mendekati Kematian menyatakan bahwa kepercayaan mereka tidak mempengaruhi pengalaman mereka. Mereka juga mengaku bahwa pengetahuan mereka mengenai Pengalaman Mendekati Kematian tidak memberi efek penting terhadap kasus yang mereka alami.
Penelitian lain mengenai efek Pengalaman Mendekati Kematian menunjukkan bahwa hampir semua korban berubah menjadi lebih terbuka terhadap lingkungannya. Selain menjadi lebih terbuka, mereka juga menjadi lebih percaya diri. Hal ini juga terjadi kepada Beti. Beti mengaku menjadi lebih mudah bergaul dan tidak cuek terhadap lingkungannya. Korban juga menjadi lebih peduli mengenai tujuan hidupnya, lebih sabar, dan lebih kuat secara mental. Mereka cenderung lebih relijius dan mempercayai adanya dunia roh. Mereka memiliki sikap baru dalam menghadapi kematian, mereka menjadi lebih yakin bahwa kematian bukanlah sesuatu yang mengerikan. Mereka menganggap pengalamannya Mendekati Kematian akan menjadi nyata saat meninggal nanti.
Mungkin masih banyak misteri dari dunia antara-ada-dan-tiada ini yang masih belum terungkap. Namun keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Seiring berjalannya waktu, semua misteri akan terkupas satu per satu hingga kita bisa mendapatan faktanya.
No comments:
Post a Comment