Monday, October 29, 2012

Apa? Saya Menang UPH Awards?

-->
UPH Awards adalah acara tahunan yang diselenggarakan di Universitas Pelita Harapan sebagai ajang penghargaan terhadap seluruh pihak yang terlibat di UPH. Mulai dari mahasiswa, dosen, hingga staff yang ada di kampus diberikan berbagai penghargaan yang sesuai dengan apa yang mereka lakukan. UPH Awards yang sudah ke-enam kali diselenggarakan ini, selalu melibatkan kerjasama dari mahasiswa dalam proses penyelenggaraannya.

Sebagai mahasiswa tahun ke-3 di UPH, sejujurnya saya belum pernah terlalu terlibat dalam penyelenggaraan UPH Awards. Bukan hanya dalam keterlibatan dalam bentuk kepanitiaan, namun hanya sekedar menyempatkan waktu untuk menyaksikan secara langsung proses penyelenggaraannya saja saya belum pernah lakukan. Karena itulah, betapa kagetnya saya ketika di acara UPH Awards yang ke-6 lalu ini, nama saya keluar sebagai salah satu pemenang. Hal ini membingungkan untuk saya dalam berbagai level. Pertama, saya tidak merasa pernah melakukan apapun yang membuat saya berhak untuk memenangkan UPH Awards. Kedua, setahu saya, para pemenang dan /atau nominasi UPH Awards harus mencalonkan diri mereka sendiri sebagai pemenang. Sementara saya tidak pernah tahu menahu apapun soal hal itu.

“VIN?? LO MENANG UPH AWARDS???” begitulah bunyi pesan singkat yang dikirimkan oleh teman saya yang sedang menghadiri acara UPH Awards.

Sebagaimanapun besar rasa terkejut yang di ekspresikan teman saya melalui pesan singkat itu masih belum bisa menyaingi rasa terkejut saya sendiri yang rasanya campur aduk antara tidak percaya, terkejut, bahkan ingin tertawa karena bagi saya memenangkan sebuah penghargaan di acara UPH Awards adalah sesuatu yang sangat amat diluar ekspektasi.

Saya sangat amat bingung dengan apa yang baru saya dengar dari teman saya itu. Ketika saya tanya untuk kategori apa, ternyata untuk kategori Service Learning of The Year. Setelah tahu saya pun semakin bingung. Service Learning of The Year? Selama berkuliah di UPH saya sudah pernah melakukan tiga buah kegiatan service learning. Namun, ketika dipikir-pikir kembali tidak ada satupun dari ketiga kegiatan service learning itu yang akan membuat saya pantas mendapatkan sebuah penghargaan.

Akhirnya diketahui bahwa service learning yang menyebut nama saya sebagai pemenang adalah service learning yang pernah saya lakukan di awal tahun 2012 kemarin. Service learning yang saya lakukan dalam mata kuliah Character Development ini adalah tentang mengajarkan cara bersikap dengan sopan santun yang baik dan benar kepada sekelompok anak-anak SD yang belajar di sebuah sekolah sederhana di kawasan Cengkareng Timur. Sejujurnya, saya rasa materi yang kami berikan dalam service learning kami belum pantas untuk memenangkan sebuah penghargaan. Apalagi jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh banyak orang lain di kampus ini. Namun, ketika saya mengetahui bahwa seluruh nominasi di UPH Awards mencalonkan diri mereka sendiri untuk memenangkan penghargaan, semua baru menjadi masuk akal untuk saya. Ketika saya mengingat kembali, salah satu orang di kelompok saya adalah salah satu dari panitia UPH Awards tahun ini. Seperti puzzle, teka teki mengapa service learning yang saya lakukan bisa menang pun terjawab. (Vindya Irawan)

MUSIC REVIEW: Muse - The 2nd Law

Matthew Bellamy, Christopher Wolstenholme, dan Dominic Howard kembali menggebrak kancah musik dunia setelah tiga tahun vakum sejak lahirnya album ke-lima mereka, The Resistance.

The 2nd Law hadir tanpa meninggalkan kesan megah yang sudah menjadi trademark band bentukan asal Devon, Inggris ini. Namun, bukan Muse jika tidak memberikan nuansa yang berbeda pada tiap albumnya.

"Kami nonton konser Skrillex Oktober lalu, dan gila! itu keren banget!" ujar Bellamy, sang frontman, pada NME.

Ya, tidak bosan -  bosannya Muse menyuguhkan elemen baru dalam perjalanan karier musik mereka. Kali ini tren musik "jedag - jedug" dubstep pun dijajal oleh Bellamy dkk. Ditanya alasan mengapa memilih dubstep, lebih lanjut ia mengatakan, selera penikmat musik yang sekarang berubah dari betotan bass dan gitar ke tuts - tuts keyboard membuat mereka tertantang. "Kami terinspirasi dari dubstep, tapi kami memberikan sesuatu yang baru. Tetap dari instrumen - instrumen musik."

Masih berbicara seputar realitas dunia, dalam The 2nd Law Bellamy dengan blak - blakan mengkritik ketidakadilan yang kerap terjadi. Lagu "Animals" menceritakan kebencian Bellamy terhadap para korup di Wall Street dengan lirik “Kill yourself / come on and do us all a favor.” Yang spesial di album yang namanya diambil dari hukum kedua Termodinamika ini adalah 2 lagu yang digubah dan juga dinyanyikan oleh sang bassist, Chris Wolstenholme, yaitu Save Me dan Liquid State. Suatu terobosan baru yang berani dibuat oleh band beraliran alternative progressive rock ini.

Jauh berbeda jika dibandingkan dengan Origin Of Symmetry, disebut - sebut sebagai album masterpiece, tetapi The 2nd Law berhasil menyelaraskan dentuman musik dubstep dengan permainan apik bass, gitar, dan juga piano yang menjadi ciri khas Muse. (Ajeng Quamila)


Must - Listen - To Song(s): Panic Station, Madness, Save Me
Rating: 8.5/10

Sunday, October 28, 2012

Bioskop Grand Senen



Bioskop Grand Senen, merupakan bioskop warisan zaman kemerdekaan yang dibangun di tahun 1920an oleh Belanda. Gedung bioskop yang terletak di antara Jalan Keramat Bunder dan Keramat Raya itu memiliki daya magnet yang cukup besar untuk para penikmat film di awal keberadaannya. Pada 1980-an, ketika produksi film Indonesia mencapai lebih daripada 100 judul pertahun, bioskop Grand dan Mulya Agung menerima limpahan penonton yang luar biasa. Sama seperti Rivoli, bioskop Grand bukanlah bioskop kelas dua seperti sekarang.
Bioskop ini berada di lantai bawah, sementara di lantai atas, terdapat Mulia Agung Teater, bioskop yang dikelola satu manajemen dengan Grand. Menurut Staf Senior Grand Senen, Rudi, sesungguhnya Bioskop Grand Senen sekarang ini telah berubah nama menjadi Bioskop Mulia Agung. “Nama bioskop ini dulunya Grand Senen, tapi semenjak zaman Pak Harto (Presiden RI ke-2) diganti jadi Bioskop Mulia Agung, Senen. Karena pada saat itu tidak boleh ada nama toko, bioskop dan lain-lain yang memakai nama asing, tapi harus di Indonesiakan,” katanya.
Gedung Bioskop ini dibangun guna memenuhi keinginan masyarakat akan hiburan. Berbeda dengan gedung bioskop masa kini yang semakin menjamur semacam 21 dan Blitz Megaplex, gedung bioskop ini pada masa pembangunannya tidak menggunakan semen, melainkan menggunakan campuran kapur dan pasir. Bisa dilihat dari struktur bangunannya yang kuno.
Banyak hal yang berbeda dengan bioskop ini jika dibandingkan dengan bioskop-bioskop besar yang sekarang lebih banyak diminati para pecinta film. Salah satunya, saat masuk ke dalam gedung bioskop, pengunjung tidak akan disambut oleh wanita-wanita berparas cantik dengan dandanan rapi sebagai user, melainkan seorang nenek dan kakek dengan tampilan seadanya berusia setengah baya yang konon katanya telah bekerja di sana sejak Gedung Bioskop Grand Senen pertama kali dibuka.
Di lantai pertama, Bioskop Grand Senen terbagi menjadi 3 ruangan studio. Grand 1 mampu menampung penonton berjumlah 400 orang. Sedangkan Grand 2 dan Grand 3 memiliki kapasitas yang lebih kecil, sekitar 120 orang. Di lantai dua, untuk Bioskop Mulia Agung, juga dibagi menjadi tiga ruang studio yang masing-masing kapasitasnya sebanyak 120 orang.
Dengan harga tiket sebesar Rp 5000, pengunjung bisa menonton film yang disajikan. Sebagian besar filmnya merupakan film dewasa yang menjurus ke sex, atau film internasional yang telah rilis beberapa tahun lalu di bioskop-bioskop besar.
Menurut beberapa sumber, peraturan dilarang merokok di dalam studio baru diberlakukan. Sebelumnya, para penonton diperbolehkan merokok. Hal tersebut diperbolehkan karena studionya tidak dilengkapi dengan AC, melainkan beberapa kipas angin tua di setiap sudut ruangan.
Pintu bioskop dibuka pukul 13.00 WIB, penonton yang sudah membeli tiket langsung masuk dan menyebar memilih tempat duduk. Ya, di bioskop ini diberlakukan free sitting, sehingga penonton bebas memilih tempat. “Sekarang semakin susah, orang-orang lebih suka nonton di 21. Apalagi jaman sekarang juga ada home theater, makin enak, deh. Kita yang susah. Ngumpulin 6 orang untuk 1 film aja tuh, alhamdulillah. Kalau nungguin sampai 8 orang lama banget.” Ujar Pak Husein, salah satu pengurus dari Gedung Bioskop ini ketika ditemui di kantornya, yang terletak di lantai 2.
Pintu masuk kebagian dalam pun hanya ditutupi dengan sehelai kain biru, yang berfungsi sebagai gorden. Setelah masuk, penonton tidak perlu bingung harus berjalan ke kiri atau ke kanan, karena pintu masuknya berada di tengah-tengah ruangan bioskop. Jika dilihat dari atas, seperti ada lubang besar berbentuk bujur sangkar di bagian tengah yang berfungsi untuk jalan masuk penonton. Kursi-kursi yang digunakan sudah cukup usang dengan jok yang robek. Tembok yang terbuat dari triplex terlihat sangat memprihatinkan. Bau amis juga menyelimuti studio bioskop ini. Bahkan, penonton juga bisa melihat beberapa kecoa dan tikus yang hilir mudik di sekitar tempat duduk. Menurut beberapa cerita, ada beberapa tempat duduk yang terasa agak lengket.
Siang itu, beberapa pengunjung Bioskop Grand Senen ini terlihat datang berpasang-pasangan. Baik dengan lawan jenis, atau pun sesama pria. Tapi tidak sedikit juga yang datang sendirian. Salah satu yang berbeda dari nuansa Bioskop 21 atau Blitz Megaplex, para pengunjung di Bioskop ini cenderung terkesan jarang yang benar-benar menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang disajikan dan sebagian besar terdapat 3 bahasa dalam subtitlenya, Inggris, Indonesia, dan Mandarin.
Yang datang sendirian, terlihat celingak-celinguk seperti mencari-cari. Meskipun banyak tempat duduk yang kosong, mereka sibuk mondar-mandir tanpa peduli film sudah mulai diputar. Mungkin mencari pasangan. Menurut sejumlah cerita, mereka adalah PSK (Pekerja Seks Komersil) yang memang sering “nongkrong” di situ. Wanita-wanita tersebut bisa di-booking di tempat dengan tarif sekitar Rp 50.000.
Wanita-wanita yang sering “nongkrong” di Gedung Bioskop ini cenderung memberikan tatapan yang tidak ramah pada pengunjung yang menggunakan pakaian bagus atau membawa sesuatu yang cukup memancing pandangan, contohnya kamera. Sama halnya dengan orang-orang yang duduk-duduk di pelataran Gedung Bioskop atau di area permaianan arcade yang sudah cukup tua.
Kini Bioskop Grand dan Mulya Agung di Senen tidak lebih daripada sebuah masa lalu yang terbungkus dalam debu dan ingatan akan kejayaan film nasional beberapa dekade lalu. Bisa dilihat dari kondisinya yang semakin tua, dan tidak terawat, Bioskop ini semakin kalah oleh kapitasisasi di bidang perfilman dan tuntutan jaman.
“Boro-boro deh, dapet subsidi dari Pemerintah… Mustahil.” Ungkap Pak Husein mengutarakan kekecewaannya. “Padahal, ini salah satu Gedung Bioskop tertua di Jakarta. Mereka nggak sadar kalau ini bagian dari sejarah yang harusnya dipelihara. Mereka hanya tau hal-hal modern yang mereka konsumsi sekarang.”
“Palingan, sebentar lagi kita (Bioskop Grand Senen) juga bubar. Soalnya emang udah semakin susah. Biar mereka nyesel kehilangan salah satu tempat berharga di Jakarta.” Tambahnya.

Thursday, October 18, 2012

Cokelat Lokal Kualitas Internasional


 Kata cokelat diambil dari dari bahasa suku Maya, Chocol'ha yang berarti “to drink chocolate together.” Lebih dari 2000 tahun yang lalu, suku Maya dan Aztec menggunakan biji kakao (bahan dasar coklat) sebagai mata uang, bahan masakan, atau untuk ditanam kembali. Cokelat yang biasa dipakai orang sebagai simbol cinta ini pernah menjadi menu makanan paling mahal bagi kaum bangsawan  di abad ke-16 pada zaman kedudukan Spanyol di Eropa. Tahun 1800-an, Milton Hershey mendirikan pabrik coklat terbesar di Penssylvania, Amerika. Di Indonesia sendiri, biji kakao dibawa oleh orang-orang Belanda pada zaman penjajahan di tahun 1700-an, dan sampai saat ini produk cokelat telah menyebar di seluruh kawasan Indonesia, serta dinikmati oleh berbagai macam kalangan.
biji kakao
Produksi pembuatan biji kakao hingga menjadi cokelat tidak hanya terjadi di Amerika, Swiss, dan Belanda. Indonesia ternyata juga menjadi negara penyumbang produksi coklat dengan kualitas yang tidak kalah hebat dengan produk import, seperti Cadburry, Hershey, Ferrero Rocher, dan merk terkenal lainnya. Salah satu perusahaan dalam negeri yang mampu memproduksi dan mengekspor hasil produksi cokelat hingga menjadi go international adalah PT. Wahana Interfood Nusantara. Perusahaan yang bergerak di bidang food industry ini pada awalnya hanya industri rumah tangga dengan hanya bermodal satu mesin penggiling biji kakao di tahun 2003. Delapan tahun kemudian, perusahaan mampu membangun pabrik besar di daerah Sumber Sari, Bandung dan mempekerjakan karyawan lebih dari 100 orang.
Tembok berwarna putih dengan pagar setinggi hampir tiga meter menutupi seluruh bagian depan bangunan seluas hampir 2000 meter persegi. Dari luar, bangunan ini tidak terlalu menarik, namun yang mengundang perhatian panca indera adalah bau khas coklat yang telah menyebar dari depan pintu hingga ke dalam area pabrik. Saat mulai memasuki pabrik, rasanya seperti memasuki pabrik coklat seperti di dalam film Hollywood “Charlie and The Chocolate Factory.” Jika di film, anak-anak yang mendapatkan golden ticket disambut dengan sajian panggung boneka dan sapaan ramah Charlie si pemilik pabrik coklat, maka disini sapaan agak ramah dari penjaga berbaju hitam yang disebut security. Jangan membayangkan pabrik ini dihiasi dengan pohon-pohon permen, taman buah-buahan, air mancur, atau kolam renang coklat. Sebaliknya, setiap ruangan dipenuhi oleh mesin-mesin dengan bobot lebih dari satu ton, pekerja yang berlalu-lalang, dan kardus yang bertumpuk-tumpuk di gudang, namun kegiatan produksi coklat sesungguhnya ada disini.
            Cokelat berasal dari buah kakao yang telah dikupas dan diambil bijinya dari buah Kakao. Sebelum biji-biji dikirim ke tempat produksi, biji-biji berwarna putih dan berlendir di fermentasi dan dikeringkan selama beberapa hari hingga berubah warna menjadi cokelat tua. Dari Indonesia, Perusahaan yang dikenal memiliki produk cokelat bermerk Schoko ini membeli biji-biji dari petani yang berada di daerah Purwakarta, Makassar, dan Padang. “Kami mengambil dari tiga daerah itu karena melihat cara penanaman petaninya.  Dari seluruh kawasan perkebunan kakao di Indonesia, Purwakarta, Padang, dan Makassar lah yang paling baik penanamannya karena mempengaruhi juga kualitas biji-bijinya,” kata Reynald, managing director PT Wahana Interfood Nusantara. Dari luar Indonesia, perusahaan yang memiliki omset 30 miliar per bulan ini mengimpor biji-biji cokelat dari Ghana, Afrika.
petugas pabrik mengontrol alat press kakao
  “Proses pertama pembuatan cokelat adalah memasukkan biji-biji kakao dari berbagai wilayah ke dalam mesin roasting untuk dipisahkan dari segala kotoran dan debu”, kata Irma, kepala pabrik PT Wahana Interfood. Hal ini juga bertujuan untuk mengembangkan karakteristik rasa coklat. Proses ini memakan waktu ½ hingga dua jam dengan temperatur panas yang sangat tinggi. Selama proses roasting, aroma dari biji-biji kakao akan muncul dan warnanya menjadi lebih tua. Setelah diroasting atau dipanggang, biji-biji dimasukkan ke dalam mesin lainnya untuk melalui proses Greending, yaitu proses penghancuran biji-biji menjadi bentuk yang lebih halus. Biji yang telah menjadi seperti serbuk-serbuk kayu itu kemudian di dihancurkan kembali dengan menggunakan mesin Press. Mesin ini akan menggiling dan menumbuk cokelat yang berbentuk serpihan-serpihan menjadi pasta yang disebut Cocoa LiquorCocoa liquor berbentuk seperti lumpur berwarna cokelat dan dimanfaatkan untuk cocoa butter, cocoa powder, dan coklat beku yang dicetak atau dipadatkan. 


Untuk pembuatan Cocoa Powder, Cocoa Liquor dipress menggunakan mesin setinggi dada orang dewasa dengan dua roda besi yang  berdekatan satu sama lain. Cocoa Liquor perlahan-lahan dimasukkan dan kedua roda yang berputar sangat cepat itu akan mengubah cairan kental tersebut menjadi bubuk. Biasanya bubuk ini berguna untuk minuman atau bahan-bahan kue. Bubuk minuman akan dicampur dengan gula dan susu agar menambah rasa saat dinikmati oleh konsumen. Sedangkan kandungan minyak yang terkandung di dalam biji Kakao dimanfaatkan untuk cocoa butter.
Gudang  PT Wahana Interfood
Proses pembuatan cokelat padat tentu berbeda dengan coklat bubuk. Cocoa Liquor harus melalui proses penghalusan dan pendinginan. Cocoa Liquor dengan lemak jenuh tinggi atau yang disebut compound dihaluskan oleh mesin besar dengan pisau bermata tajam yang berputar. Hasil akhirnya adalah cokelat halus dan berwarna lebih muda. Cokelat yang keluar dari mesin akan bersuhu 40°C, lalu dituang ke dalam cetakan, dan didiamkan hingga suhunya menjadi 33°C. Selanjutnya cokelat yang telah ada di cetakan disimpan di mesin pendingin atau  cooling tunnel, karena bentuknya yang seperti terowongan kecil. Suhu akhir menjadi 5°-11° C. “Proses penurunan suhu dimaksudkan agar cokelat dapat mengeras dengan baik dan tidak cepat meleleh,” kata wanita bertubuh kecil dan berjilbab yang sangat lincah dan teliti dalam mengawasi pekerja dan mesin-mesin pabrik ini. Tahap terakhir dari proses produksi cokelat adalah packaging dan distribusi. Hasil produk dari PT Wahana telah didistribusikan ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Jabodetabek, jawa timur, jawa barat, bahkan sampai ke wilayah Asia Tenggara, Amerika dan Spanyol. 
Perusahaan milik anak negeri seperti PT Wahana Interfood Nusantara adalah satu contoh dari sekian banyak kemajuan produk Indonesia yang mampu bersaing dengan produk-produk import asal Amerika atau Eropa. Ternyata cokelat produksi lokal pun mampu menghasilkan produk kualitas  berstandar internasional. (Retna)

Wednesday, October 17, 2012

JALUR PIPA GAS PENYAMBUNG KEHIDUPAN


“Presiden itu semua gila, tau?”
“Masa iya?”

“Maunya ke Nias, eh malah ke Beijing”


“Taka taka taka dong… Taka taka taka dong… Toki gong sambil menari, tiup suling sambil menyanyi… menyanyi angkat syukur.. angkat syukur puji Tuhan..haleluya…!”

Monday, October 15, 2012

Dari Waktu ke Waktu


     Universitas Pelita Harapan tahun ini kembali mengadakan acara UPH Awards. Tahun ini menjadi UPH Awards ke-6 yang diselenggarakan. Acara ini diawali dengan Grand Opening sejak 28 April 2012. Kemudian panitia juga mengadakan Road to Awarding Night pada tanggal 28 Agustus 2012. Acara Road to Awarding Night ini diramaikan oleh tenant bazaar di taman UPH dan juga beberapa penampilan dari pengisi acara. UPH Awards ditutup dengan malam penganugerahan yang diadakan pada 24 September 2012. UPH Awards 6 membagikan 20 penghargaan bagi mahasiswa UPH baik dalam bidang akademis dan non-akademis. 20 pengharggan tersebut dibagi ke dalam empat kategori, yaitu kategori individual, kategori program, kategori student organization, dan kategori miscellaneous.

     UPH Awards saat ini menjadi acara yang diadakan oleh Student Organization and Activities Department. UPH Awards yang pertama diadakan pada tahun 2007, saat itu, UPH Awards masih menjadi salah satu acara di bawah Senat Mahasiswa (saat ini BEM). Pada tahun-tahun pertama UPH Awards, acara ini tidak hanya mengapresiasi mahasiswa, tapi juga mengapresiasi dosen-dosen yang mengajar di UPH. Penghargaan itu namanya Lecturer Recinition Award. Sejak awal acara ini tujuan utamanya adalah untuk mengapresiasi mahasiswa UPH dalam bidang akademik dan non-akademik, baik dalam tingkat individual maupun organisasi. Semakin lama, jumah penghargaan yang diberikan juga semakin banyak. Setidaknya ada dua nominasi baru untuk tahun ini, Service Learning of the Year dan Academic Excellence Award. Service Learning of the Year diberikan kepada kelompok dengan rencana dan pelaksanaan pelayanan masyrakat terbaik. Untuk penghargaan baru ini, Service Learning Department memilih siapa saja nominasiya. Pemilihan dilakukan melalui pendaftaran yang wajib dilakukan semua kelompok sebelum mereka membuat konsep Service Learning mereka. Academic Excellence Awards diberikan kepada mahasiswa dengan IPK tertinggi yang mewakili tiap angkatan yang ada yaitu 2009, 2010, dan 2012.

     Pemenang UPH Awards ditentukan oleh Komite Eksekutif yang terdiri dari perwakilan kemahasiswaan, dosen, Spiritual Organization, dan Mentoring. Pierre Mauritz Sundah sebagai salah satu ketua panitia mengatakan bahwa pendaftar UPH Awards dari tahun ke tahun bertambah. Ya, pemenang UPH Awards memang rata-rata harus mendaftarkan dirinya. Hal ini diikuti alasan bahwa UPH Awards ingin memberikan kesempatan bagi mahasiswa UPH untuk membuktikan dirinya mampu melakukan sesuatu dengan baik. Seperti yang dikatakan Pierre, mereka harus mengisi formulir, mengisi esai dan kalau emang masih diperlukan, mereka akan dipanggil untuk interview. Teddy Setiaji, Ketua Acara UPH Awards 6 berharap agar setiap pemenang tidak cepat puas dengan pencapaian mereka, namun bisa menjadi awal bagi pencapaian-pencapaian yang lebih tinggi di masa mendatang. (JohanaJessica)

Dua Sisi Ajang Prestasi



Baru menjadi mahasiswa selama satu tahun tidak menghalangi Ryan Phedra untuk dinominasikan di ajang bergengsi UPH Award 2012. Laki-laki yang akrab dipanggil Rere ini memiliki segudang aktifitas dalam keorganisasian dan kepanitian. Keanggotaanya di Himpunan Mahasiswa Jurusan Perhotelan menjadi pintu gerbangnya mengikuti acara kepanitiaan, seperti acara Blood Donation, Miss UPH Scholar, Leadership In Training, dan masih banyak lagi. Pada awalnya ia hanya iseng-iseng saja mendaftar UPH Award. Alasannya sangat sederhana, “Takut ada penyesalan dan didorong juga oleh teman-teman,” katanya. Penyesalan yang dimaksud adalah ia tidak mau sampai tidak mencoba untuk ikut acara ini. “Pokoknya gue coba dulu daftar jangan sampai gue nanti kecewa di belakang,” kata laki-laki penggemar fotografi ini.
Siapapun boleh mendaftar sebagai calon nominator, termasuk juga panitia. Meskipun tahun lalu Rere tidak terlalu memberi perhatian kepada acara tersebut, ketertarikannya untuk mendaftar muncul saat ia menjadi bagian dari panitia UPH Award tahun ini. Ia mengisi formulir, memberi nilai transkrip, dan surat rekomendasi dari dosen jurusannya sebagai syarat untuk mendaftar menjadi calon nominator di UPH Awards.. 
Acara yang telah berlangsung selama enam kali ini membagikan lebih dari 10 kategori, antara lain adalah Student Entrepreneurship of the Year, Outstanding Sophomore, Outstanding Junior, Student Leader of the year, dan lain sebagainya. Rere dinominasikan untuk kategori Freshmen Student of the Year atau mahasiswa terbaik yang baru menjalani masa 1 tahun perkuliahan. Tanpa disangka keisengannya ini membuahkan hasil. Ia memenangkan nominasi tersebut! Saat ditanya pengaruh apa yang ia rasakan setelah memenangi prediket mahasiswa terbaik, ketua Pelita Harapan Photography Club ini hanya menjawab, “Lebih ingin berkonstribusi untuk acara-acara kampus.”
Lain halnya dengan Soraya Apriliyanti, mahasiswi jurusan sastra inggris UPH ini, mengaku belum pernah datang ke perhelatan UPH Awards. "Aku belum pernah datang ke UPH Awards, soalnya nggak tertarik." Ujarnya. "Kalau menurutku, UPH Awards mungkin tujuan acaranya bagus, untuk memotivasi mahasiswa supaya lebih berprestasi. Tapi realitanya, hanya segelintir yang sadar dan concern akan hal itu, yang lain atau mungkin sebagian besar ya fokus ke urusan masing-masing. Tanpa UPH Award, semua orang akan tetap bisa memotivasi diri untuk lebih berprestasi, balik lagi, tergantung masing-masing individu aja."
Mahasiswa semester akhir ini juga meneruskan, bahwa acara ini memberikan terkesan membuang-buang uang. Terutama dengan antusiasme penonton yang rendah dan pengunjung yang sedikit. “Mungkin ada baiknya konsepnya diganti, bukan hanya sekedar pemberian award terhadap mahasiswa UPH aja, tapi bagimana kita berkontribusi untuk masyarakat. Bukan selalu berkontribusi untuk diri sendiri.” Jelasnya.
UPH AWARDS memang mengundang pro dan kontra diantara warga UPH. Sebagian orang mungkin merasa UPH AWARDS adalah ajang untuk tampil menunjukkan prestasi. Sebagian berpendapat acara ini hanya untuk unjuk gigi saja, namun acara yang diadakan satu tahun sekali ini akan tetap mewarnai aktivitas kampus Universitas Pelita Harapan di tahun-tahun yang akan datang.
(Anna, Retna)

UPH Awards Membuat Mereka Duduk Terdiam


Universitas Pelita Harapan (UPH) kembali menggelar UPH Awards sebagai ajang prestasi dan kompetisi bagi mahasiswa—baik secara perorangan, unit kegiatan, maupun organisasi kemahasiswaan. Bermula dari sebuah penganugerahan yang sangat sederhana, acara ini telah berkembang pesat menjadi sebuah acara tahunan terbesar dan unik. Acara ini memadukan potensi, nilai, dan keunikan etnik bangsa Indonesia yang beragam, namun dikemas secara modern dengan konsep acara yang terdiri dari Grand Opening, Pengumuman Nominasi dan Malam Penganugrahan. Connie Raislim, wakil Rektor I, dalam pidato pembukanya menyatakan bahwa mahasiswa – mahasiswa penyabet penghargaan mampu mengharumkan nama kampus dan memacu mahasiswa lainnya untuk terus berkarya dan berprestasi baik secara akademis maupun nonakademis.

Malam Penganugrahan sebagai puncak acara diselenggarakan di UPH Grand Chapel, Karawaci – Tangerang, Senin (24/09/2012) malam. Karpet – karpet merah digelar, dekorasi keemasan tampak apik menghiasi kawasan kampus siap menyambut para pengunjung beserta tamu undangan. Anehnya, untuk sebuah malam penghargaan yang paling ditunggu – tunggu, antusiasme dari kalangan mahasiswa sendiri tidak begitu terlihat. Dari tahun ke tahun, barisan tempat duduk di Grand Chapel akan selalu terisi penuh saat UPH Awards digelar. Tapi tidak tahun ini. Terlihat dari beberapa bagian dari seating yang terlihat kosong. Malam berlanjut, satu demi satu penonton pun beranjak meninggalkan tempat, padahal pembacaan pemenang penghargaan belum kunjung usai. Penampilan ciamik dari Maliq and D’Essentials yang terlalu larut pun tak membantu. Sepinya penonton saat Angga cs menghentak Grand Chapel dengan lagu – lagu andalan mereka malah membuat acara tersebut terlihat sebagai private mini concert.  Seharusnya, dengan hadirnya nama besar untuk menghibur penonton di kala suntuk dengan suguhan acara utama dapat menggenjot kembali suasana hati mereka. Sangat disayangkan penampilan band jazz papan atas Indonesia yang kerap mengisi line up Java Jazz International Festival ini justru dipasang di penghujung acara. (Ajeng Quamila)