Wednesday, October 17, 2012

“Maunya ke Nias, eh malah ke Beijing”


“Taka taka taka dong… Taka taka taka dong… Toki gong sambil menari, tiup suling sambil menyanyi… menyanyi angkat syukur.. angkat syukur puji Tuhan..haleluya…!”




“Taka” merupakan tiruan bunyi Tifa, sebuah instrumen musik khas daerah Ambon. “Dong” diambil dari tiruan bunyi gong. Dua tiruan bunyi itu kemudian disisipkan ke dalam lirik lagu dengan aransemen acapella oleh Christian Izaak Tamalea. Ia menciptakan lagu ini memang untuk dinyanyikan dalam paduan suara. Lagu inilah yang sempat dinyanyikan oleh Universitas Pelita Harapan (UPH) Choir di panggung UPH Awards 6 pada 24 September 2012.

            Dalam pertunjukan kali ini UPH Choir tampil dengan enam puluh lebih penyanyi dan diiringi seorang pemain piano di bawah konduksi Tutu Sukendro sebagai konduktor. Penampilan mereka manis meskipun beberapa anggota sudah sempat tertidur sambil menunggu giliran tampil. Para penyanyi wanita dibalut dress hitam dan para pria rapi mengenakan setelan hitam ditambah dasi kupu nangkring di leher. Lampu ruangan menjadi redup dan lampu sorot langsung terarah kepada mereka. Hitungan dimulai dan mereka mulai menyanyi. Penonton merasa mendapat suntikan tenaga untuk menonton UPH Awards sampai selesai. Mereka terpukau dan tersihir oleh lagu yang baru saja mereka dengar. Lagu “Toki Gong Sambil Menari, Haleluya” berhasil membuat penonton bilang “wow!” tanpa diminta.

            UPH Choir merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dari Universitas Pelita Harapan.  UKM ini dibentuk oleh Tutu Sukendro sejak 2005. UPH Choir dibentuk dengan misi sebagai UKM untuk menyalurkan bakat menyanyi dan memuliakan Tuhan. Komitmen menjadi hal yang penting bagi Tutu. “Kemampuan bernyanyi bisa dilatih, tapi komitmen untuk datang dan ikut latihan itu muncul dari diri sendiri.”, itulah komentar Tutu mengenai komitmen anggota UPH Choir yang sudah punya 76 anggota sekarang.

Malam itu UPH Choir berhasil memenangi penghargaan Outstanding Achievement of the Year. Penghargaan ini diberikan karena mereka  berhasil menggondol empat trophy setelah ikut serta dalam International Choral Competition 2012 di Beijing, China. Sebuah piala emas untuk kategori female choir, perak untuk male choir, perunggu untuk mixed choir, dan sebuah piala penghargaan untuk peace and friendship choir.

Namanya Suarta, sore ini rambutnya tersisir rapi ke samping. Pakaiannya juga rapi, kemeja dan celana panjang. Jaket merah putih yang menemaninya waktu ke Beijing juga ia bawa. Logat asli Nias masih terdengar sangat kental di sela kata-katanya. Suarta memang salah satu anggota UPH Choir yang ikut ke Beijing, Juli 2012 lalu. Kali itu 36 anggota UPH Choir, berserta Tutu Sukendro, dan Grace berangkat ke Beijing. Kalau Tutu Sukendro adalah konduktor UPH Choir, Grace bertanggung jawab memperindah penampilan UPH Choir. Grace adalah koreografer untuk UPH Choir. Ya, tidak hanya menyanyi, mereka juga dituntut untuk bisa menari sambil tetap memertahankan vokal mereka. Mereka menyanyi dan menari dengan balutan make up, baju tradisional, atau kostum-kostum lainnya. UPH Choir menyiapkan beberapa lagu klasik dan lagu daerah untuk ikut dalam kompetisi itu. “Kami latihan ribuan jam. Setiap hari dari jam tiga sore sampai kira-kira jam sepuluh atau sebelas malam. Itu kami lakukan mulai dari hari Senin sampai hari Sabtu.”, kata Suarta sambil mengingat. “Awalnya kami hanya latihan setiap Hari Senin dan Rabu selama dua sampai dua setengah jam. Semakin mendekat hari keberangkatan jam latihan kami juga ditingkatkan. Dua minggu terakhir kami tidak lagi berlatih vokal, tapi Pak Tutu lebih melatih mental kami..” Suaranya berat dan bulat, enak didengar. Mungkin dari lahir tangisnya saja sudah do re mi, sampai-sampai sekarang menyanyi sudah bukan hal yang sulit untuk Suarta. “Kami diajak menyanyi di pinggir jalan di daerah Serpong. Berjalan sebentar, lalu kami nenyanyi satu lagu, jalan lagi sebentar, kami berhenti dan menyanyi lagi. Begitu terus..” Selain diminta menyanyi di pinggir jalan, mereka juga sempat digilir menyanyi satu-satu di depan temannya yang lain. Di dalam ruangan, mereka menyanyi 1 dibanding 35. Teman yang lain bertugas meneliti penampilan mereka dan memberi komentar. Di situ Suarta benar-benar merasa terbantu dalam melatih mental.

UPH Choir memutuskan ikut kompetisi ke Beijing dengan harapan mereka bisa mengukur  kualitas mereka di luar UPH, di tingkat internasional. “Kalau di UPH, karena cuma ada satu choir, tentu kami tampak paling baik. Tapi kami belum tahu kalau di luar sana seberapa kualitas kami.”, ujar Suarta. Suarta sendiri di UPH Choir mengambil posisi tenor, selain itu Suarta bertugas menyiapkan perlengkapan UPH Choir. Tapi ketika ke Beijing kemarin, Suarta medapat posisi sekretaris. Urusan surat menyurat ada di tangannya. Make up mereka juga ada sendiri yang urus, kostum, perlengkapan, semua ada penanggung jawabnya sendiri.

Suarta juga sempat menceritakan pengalamannya selama persiapan dan proses menuju International Choral Competition 2012. Selain latihan, pengalaman mencari dana juga berkesan buat Suarta. Dia dan 36 teman yang lain bergantian menjaga stand, mengajukan proposal, menjual 3 CD album hasil rekaman mereka, dan usaha kecil lain supaya mendapat tambahan biaya. Memang banyak waktu yang terpakai untuk persiapan ini, tapi Suarta sama sekali tidak menyesal. Sampai-sampai keinginan untuk pulang ke Nias pun ia relakan terbang, seperti kantong plastik terbang dibawa angin kalau kata Katy Perry. Ujung-ujungnya Suarta naik bus ke Surabaya, bertemu orang tua dan om, tantenya di sana. 16 jam perjalanan hanya terbalas dengan sehari jalan-jalan bersama keluarga. Besoknya Suarta sudah harus terbang ke Jakarta untuk ikut latihan dan persiapan lagi.

Pengalaman kompetisi di Beijing juga “memaksa” Suarta dan 35 temannya untuk bisa merias wajah masing-masing. Sebelum tampil mereka harus merias wajah supaya tidak pucat. Mereka juga harus bisa memperbaiki baju dan kostum mereka, menjahit juga jadi kemampuan tambahan buat mereka.  Setelah semua rangkaian kompetisi selesai semua peserta diajak pergi ke Tembok China. Di sana tiba-tiba tim UPH Choir diberi kabar bahwa mereka mendapat kesempatan tampil pada acara penutupan. Suarta memaparkan satu cerita lagi. Pada penampilan terkahir, semua cat poster yang mereka bawa dari Indonesia sudah mereka habiskan. Mereka tidak menyangka akan dipanggil untuk tampil pada penutupan acara. Akhirnya mereka pun beli cat karakter seadanya dan segera mereka pakai di badan, ternyata cat itu membuat mereka gatal-gatal.  Sebelum mereka menyanyi, pengumuman pemenang dibacakan. Tutu Sukendro menangis sambil memegang 4 piala yang mereka dapat. Semua ikut menangis dan terharu. Baru setelah pengumuman mereka tampil untuk menutup acara. Dengan suara yang sudah habis, tenaga sisa, dan badan gatal,  mereka berusaha untuk menyanyi sebaik mungkin. Di kompetisi itu, ternyata ada satu grup lagi dari Indonesia, grup senior choir dari PT. PLN yang didampingi Nafsih Sabri, istri dari Dahlan Iskan (menteri BUMN). Tim senior choir dari Kupang bersorak menyemangati mereka. “Senang dan bangga sekali rasanya, nama Indonesia disorakkan untuk menyemangati kami. Bangga juga bisa bawa nama Indonesia..”, ujar Suarta.

Pengalaman ini sangat berkesan bagi Suarta. Latihan setiap hari membantu dia mengenal teman sesama tim, bertumbuh tidak hanya pada tehnik vokal tapi juga secara rohani. Fellowship yang mereka ikuti selama persiapan kompetisi ternyata membangun kerohanian mereka. “Pak Tutu nggak cuma melatih, melihat yang salah, menegur, tapi juga melihat tingkah laku dan pertumbuhan kami. Bukan cuma nyanyi, tapi juga spiritual. Ada relationship yang dibangun.”, katanya.

Suarta yang sudah terbiasa nyanyi dari umur 10 tahun, sudah terbiasa ikut kompetisi tingkat kota, tingkat kabupaten, terbiasa menyambar piala juara 1, 2, 3. Dia sangat senang bisa bergabung dengan UPH Choir. Di UPH Choir Suarta menemukan sebuah komunitas untuk bisa bernyanyi bersama, dengan pelatih yang memimpin dengan konsep fathering, latihan yang selalu menunjukkan kemajuan, dan sekaligus bisa menambah teman. Bergabung dengan UPH Choir sudah menjadi impian Suarta sejak pertama kali mereka tampil pada saat UPH Festival 18. Seperti love at first sight. “Rasanya seperti ingin maju, mendekat ke mereka.. (Penampilan) itu keren sekali... Hari Senin pertama, langsung datang ikut UPH Choir, meskipun belum audisi.”, katanya sambil nyengir usil.

            Suarta menutup perbincangan kami dengan sebuah komentar. “Pengalaman bisa ke luar negeri bersama, mengharumkan nama Indonesia, dan membandingkan kualitas paduan suara dengan grup dari negara lain, menangis bersama melihat empat piala di tangan Pak Tutu... Pengalaman yang sangat berharga dan tak tergantikan. Keinginan untuk pulang ke Nias tidak sia-sia kutunda. Terbayar dengan kemenangan, pengalaman, dan penghargaan yang saya dapatkan.” Suarta sangat bersyukur mendapat kesempatan untuk bisa belajar ke luar negeri. Baginya, ia seperti mendapat kelas tambahan di Beijing. (JohanaJessica)

No comments:

Post a Comment