Bioskop Grand Senen, merupakan bioskop
warisan zaman kemerdekaan yang dibangun di tahun 1920an oleh Belanda. Gedung
bioskop yang terletak di antara Jalan Keramat Bunder dan Keramat Raya itu
memiliki daya magnet yang cukup besar untuk para penikmat film di awal
keberadaannya. Pada 1980-an, ketika produksi film Indonesia mencapai
lebih daripada 100 judul pertahun, bioskop Grand dan Mulya Agung menerima
limpahan penonton yang luar biasa. Sama seperti Rivoli, bioskop Grand bukanlah
bioskop kelas dua seperti sekarang.
Bioskop
ini berada di lantai bawah, sementara di lantai atas, terdapat Mulia Agung
Teater, bioskop yang dikelola satu manajemen dengan Grand. Menurut Staf Senior Grand Senen, Rudi, sesungguhnya Bioskop Grand
Senen sekarang ini telah berubah nama menjadi Bioskop Mulia Agung. “Nama
bioskop ini dulunya Grand Senen, tapi semenjak zaman Pak Harto (Presiden RI
ke-2) diganti jadi Bioskop Mulia Agung, Senen. Karena pada saat itu tidak boleh
ada nama toko, bioskop dan lain-lain yang memakai nama asing, tapi harus di
Indonesiakan,” katanya.
Gedung
Bioskop ini dibangun guna memenuhi keinginan masyarakat akan hiburan. Berbeda
dengan gedung bioskop masa kini yang semakin menjamur semacam 21 dan Blitz
Megaplex, gedung bioskop ini pada masa pembangunannya tidak menggunakan semen,
melainkan menggunakan campuran kapur dan pasir. Bisa dilihat dari struktur
bangunannya yang kuno.
Banyak
hal yang berbeda dengan bioskop ini jika dibandingkan dengan bioskop-bioskop besar
yang sekarang lebih banyak diminati para pecinta film. Salah satunya, saat
masuk ke dalam gedung bioskop, pengunjung tidak akan disambut oleh
wanita-wanita berparas cantik dengan dandanan rapi sebagai user, melainkan seorang nenek dan kakek dengan tampilan seadanya berusia
setengah baya yang konon katanya telah bekerja di sana sejak Gedung Bioskop
Grand Senen pertama kali dibuka.
Di
lantai pertama, Bioskop Grand Senen terbagi menjadi 3 ruangan studio. Grand 1
mampu menampung penonton berjumlah 400 orang. Sedangkan Grand 2 dan Grand 3
memiliki kapasitas yang lebih kecil, sekitar 120 orang. Di lantai dua, untuk
Bioskop Mulia Agung, juga dibagi menjadi tiga ruang studio yang masing-masing
kapasitasnya sebanyak 120 orang.
Dengan
harga tiket sebesar Rp 5000, pengunjung bisa menonton film yang disajikan.
Sebagian besar filmnya merupakan film dewasa yang menjurus ke sex, atau film
internasional yang telah rilis beberapa tahun lalu di bioskop-bioskop besar.
Menurut
beberapa sumber, peraturan dilarang merokok di dalam studio baru diberlakukan.
Sebelumnya, para penonton diperbolehkan merokok. Hal tersebut diperbolehkan
karena studionya tidak dilengkapi dengan AC, melainkan beberapa kipas angin tua
di setiap sudut ruangan.
Pintu
bioskop dibuka pukul 13.00 WIB, penonton yang sudah membeli tiket langsung
masuk dan menyebar memilih tempat duduk. Ya, di bioskop ini diberlakukan free sitting, sehingga penonton bebas
memilih tempat. “Sekarang semakin susah, orang-orang lebih suka nonton di 21.
Apalagi jaman sekarang juga ada home theater, makin enak, deh. Kita yang susah.
Ngumpulin 6 orang untuk 1 film aja tuh, alhamdulillah. Kalau nungguin sampai 8
orang lama banget.” Ujar Pak Husein, salah satu pengurus dari Gedung Bioskop
ini ketika ditemui di kantornya, yang terletak di lantai 2.
Pintu masuk kebagian dalam pun hanya ditutupi
dengan sehelai kain biru, yang berfungsi sebagai gorden. Setelah masuk,
penonton tidak perlu bingung harus berjalan ke kiri atau ke kanan, karena pintu
masuknya berada di tengah-tengah ruangan bioskop. Jika dilihat dari atas,
seperti ada lubang besar berbentuk bujur sangkar di bagian tengah yang
berfungsi untuk jalan masuk penonton. Kursi-kursi yang digunakan sudah cukup
usang dengan jok yang robek. Tembok yang terbuat dari triplex terlihat sangat
memprihatinkan. Bau amis juga menyelimuti studio bioskop ini. Bahkan, penonton
juga bisa melihat beberapa kecoa dan tikus yang hilir mudik di sekitar tempat
duduk. Menurut beberapa cerita, ada beberapa tempat duduk yang terasa agak
lengket.
Siang
itu, beberapa pengunjung Bioskop Grand Senen ini terlihat datang
berpasang-pasangan. Baik dengan lawan jenis, atau pun sesama pria. Tapi tidak
sedikit juga yang datang sendirian. Salah satu yang berbeda dari nuansa Bioskop
21 atau Blitz Megaplex, para pengunjung di Bioskop ini cenderung terkesan
jarang yang benar-benar menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang disajikan dan
sebagian besar terdapat 3 bahasa dalam subtitlenya, Inggris, Indonesia, dan
Mandarin.
Yang
datang sendirian, terlihat celingak-celinguk seperti mencari-cari. Meskipun
banyak tempat duduk yang kosong, mereka sibuk mondar-mandir tanpa peduli film
sudah mulai diputar. Mungkin mencari pasangan. Menurut sejumlah cerita, mereka
adalah PSK (Pekerja Seks Komersil) yang memang sering “nongkrong” di situ.
Wanita-wanita tersebut bisa di-booking di tempat dengan tarif sekitar Rp
50.000.
Wanita-wanita
yang sering “nongkrong” di Gedung Bioskop ini cenderung memberikan tatapan yang
tidak ramah pada pengunjung yang menggunakan pakaian bagus atau membawa sesuatu
yang cukup memancing pandangan, contohnya kamera. Sama halnya dengan
orang-orang yang duduk-duduk di pelataran Gedung Bioskop atau di area
permaianan arcade yang sudah cukup tua.
Kini
Bioskop Grand dan Mulya Agung di Senen tidak lebih daripada sebuah masa lalu
yang terbungkus dalam debu dan ingatan akan kejayaan film nasional beberapa
dekade lalu. Bisa dilihat dari kondisinya yang semakin tua, dan tidak terawat,
Bioskop ini semakin kalah oleh kapitasisasi di bidang perfilman dan tuntutan
jaman.
“Boro-boro
deh, dapet subsidi dari Pemerintah… Mustahil.” Ungkap Pak Husein mengutarakan
kekecewaannya. “Padahal, ini salah satu Gedung Bioskop tertua di Jakarta.
Mereka nggak sadar kalau ini bagian dari sejarah yang harusnya dipelihara.
Mereka hanya tau hal-hal modern yang mereka konsumsi sekarang.”
“Palingan,
sebentar lagi kita (Bioskop Grand Senen) juga bubar. Soalnya emang udah semakin
susah. Biar mereka nyesel kehilangan salah satu tempat berharga di Jakarta.”
Tambahnya.
No comments:
Post a Comment