Sunday, October 28, 2012

Bioskop Grand Senen



Bioskop Grand Senen, merupakan bioskop warisan zaman kemerdekaan yang dibangun di tahun 1920an oleh Belanda. Gedung bioskop yang terletak di antara Jalan Keramat Bunder dan Keramat Raya itu memiliki daya magnet yang cukup besar untuk para penikmat film di awal keberadaannya. Pada 1980-an, ketika produksi film Indonesia mencapai lebih daripada 100 judul pertahun, bioskop Grand dan Mulya Agung menerima limpahan penonton yang luar biasa. Sama seperti Rivoli, bioskop Grand bukanlah bioskop kelas dua seperti sekarang.
Bioskop ini berada di lantai bawah, sementara di lantai atas, terdapat Mulia Agung Teater, bioskop yang dikelola satu manajemen dengan Grand. Menurut Staf Senior Grand Senen, Rudi, sesungguhnya Bioskop Grand Senen sekarang ini telah berubah nama menjadi Bioskop Mulia Agung. “Nama bioskop ini dulunya Grand Senen, tapi semenjak zaman Pak Harto (Presiden RI ke-2) diganti jadi Bioskop Mulia Agung, Senen. Karena pada saat itu tidak boleh ada nama toko, bioskop dan lain-lain yang memakai nama asing, tapi harus di Indonesiakan,” katanya.
Gedung Bioskop ini dibangun guna memenuhi keinginan masyarakat akan hiburan. Berbeda dengan gedung bioskop masa kini yang semakin menjamur semacam 21 dan Blitz Megaplex, gedung bioskop ini pada masa pembangunannya tidak menggunakan semen, melainkan menggunakan campuran kapur dan pasir. Bisa dilihat dari struktur bangunannya yang kuno.
Banyak hal yang berbeda dengan bioskop ini jika dibandingkan dengan bioskop-bioskop besar yang sekarang lebih banyak diminati para pecinta film. Salah satunya, saat masuk ke dalam gedung bioskop, pengunjung tidak akan disambut oleh wanita-wanita berparas cantik dengan dandanan rapi sebagai user, melainkan seorang nenek dan kakek dengan tampilan seadanya berusia setengah baya yang konon katanya telah bekerja di sana sejak Gedung Bioskop Grand Senen pertama kali dibuka.
Di lantai pertama, Bioskop Grand Senen terbagi menjadi 3 ruangan studio. Grand 1 mampu menampung penonton berjumlah 400 orang. Sedangkan Grand 2 dan Grand 3 memiliki kapasitas yang lebih kecil, sekitar 120 orang. Di lantai dua, untuk Bioskop Mulia Agung, juga dibagi menjadi tiga ruang studio yang masing-masing kapasitasnya sebanyak 120 orang.
Dengan harga tiket sebesar Rp 5000, pengunjung bisa menonton film yang disajikan. Sebagian besar filmnya merupakan film dewasa yang menjurus ke sex, atau film internasional yang telah rilis beberapa tahun lalu di bioskop-bioskop besar.
Menurut beberapa sumber, peraturan dilarang merokok di dalam studio baru diberlakukan. Sebelumnya, para penonton diperbolehkan merokok. Hal tersebut diperbolehkan karena studionya tidak dilengkapi dengan AC, melainkan beberapa kipas angin tua di setiap sudut ruangan.
Pintu bioskop dibuka pukul 13.00 WIB, penonton yang sudah membeli tiket langsung masuk dan menyebar memilih tempat duduk. Ya, di bioskop ini diberlakukan free sitting, sehingga penonton bebas memilih tempat. “Sekarang semakin susah, orang-orang lebih suka nonton di 21. Apalagi jaman sekarang juga ada home theater, makin enak, deh. Kita yang susah. Ngumpulin 6 orang untuk 1 film aja tuh, alhamdulillah. Kalau nungguin sampai 8 orang lama banget.” Ujar Pak Husein, salah satu pengurus dari Gedung Bioskop ini ketika ditemui di kantornya, yang terletak di lantai 2.
Pintu masuk kebagian dalam pun hanya ditutupi dengan sehelai kain biru, yang berfungsi sebagai gorden. Setelah masuk, penonton tidak perlu bingung harus berjalan ke kiri atau ke kanan, karena pintu masuknya berada di tengah-tengah ruangan bioskop. Jika dilihat dari atas, seperti ada lubang besar berbentuk bujur sangkar di bagian tengah yang berfungsi untuk jalan masuk penonton. Kursi-kursi yang digunakan sudah cukup usang dengan jok yang robek. Tembok yang terbuat dari triplex terlihat sangat memprihatinkan. Bau amis juga menyelimuti studio bioskop ini. Bahkan, penonton juga bisa melihat beberapa kecoa dan tikus yang hilir mudik di sekitar tempat duduk. Menurut beberapa cerita, ada beberapa tempat duduk yang terasa agak lengket.
Siang itu, beberapa pengunjung Bioskop Grand Senen ini terlihat datang berpasang-pasangan. Baik dengan lawan jenis, atau pun sesama pria. Tapi tidak sedikit juga yang datang sendirian. Salah satu yang berbeda dari nuansa Bioskop 21 atau Blitz Megaplex, para pengunjung di Bioskop ini cenderung terkesan jarang yang benar-benar menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang disajikan dan sebagian besar terdapat 3 bahasa dalam subtitlenya, Inggris, Indonesia, dan Mandarin.
Yang datang sendirian, terlihat celingak-celinguk seperti mencari-cari. Meskipun banyak tempat duduk yang kosong, mereka sibuk mondar-mandir tanpa peduli film sudah mulai diputar. Mungkin mencari pasangan. Menurut sejumlah cerita, mereka adalah PSK (Pekerja Seks Komersil) yang memang sering “nongkrong” di situ. Wanita-wanita tersebut bisa di-booking di tempat dengan tarif sekitar Rp 50.000.
Wanita-wanita yang sering “nongkrong” di Gedung Bioskop ini cenderung memberikan tatapan yang tidak ramah pada pengunjung yang menggunakan pakaian bagus atau membawa sesuatu yang cukup memancing pandangan, contohnya kamera. Sama halnya dengan orang-orang yang duduk-duduk di pelataran Gedung Bioskop atau di area permaianan arcade yang sudah cukup tua.
Kini Bioskop Grand dan Mulya Agung di Senen tidak lebih daripada sebuah masa lalu yang terbungkus dalam debu dan ingatan akan kejayaan film nasional beberapa dekade lalu. Bisa dilihat dari kondisinya yang semakin tua, dan tidak terawat, Bioskop ini semakin kalah oleh kapitasisasi di bidang perfilman dan tuntutan jaman.
“Boro-boro deh, dapet subsidi dari Pemerintah… Mustahil.” Ungkap Pak Husein mengutarakan kekecewaannya. “Padahal, ini salah satu Gedung Bioskop tertua di Jakarta. Mereka nggak sadar kalau ini bagian dari sejarah yang harusnya dipelihara. Mereka hanya tau hal-hal modern yang mereka konsumsi sekarang.”
“Palingan, sebentar lagi kita (Bioskop Grand Senen) juga bubar. Soalnya emang udah semakin susah. Biar mereka nyesel kehilangan salah satu tempat berharga di Jakarta.” Tambahnya.

No comments:

Post a Comment