“Presiden itu semua gila, tau?”
“Masa iya?”
“Nih saya kasih tau…” Pria berbaju orange tersebut terkekeh, mencoba untuk serius. Abu dari rokok yang terapit di kedua jarinya luruh menodai meja. “Soekarno itu gila perempuan. Soeharto? Dia gila harta. SBY gila nggak beres – beres kerjaanya!” Seringai puas terukir di wajah pria yang memiliki potongan rambut mirip Ariel Peterpan jadul, gondrong belah pinggir dengan poni lempar. Seraya menyampirkan kacamata hitam ke atas kepalanya, ia menyeruput es buah yang sedari tadi dihiraukan.
Anggukan disertai tawa kecil memenuhi teras ruko sederhana pada Sabtu pagi, ditemani terik matahari yang bikin kemringet. Botol –botol Aqua kosong memenuhi meja kayu tempat mereka, lima sampai enam orang, berkumpul. Tepat di hadapan pria itu, seorang wanita berjilbab sibuk mengipas – ngipas dengan pamflet usang sambil sesekali memainkan handphonenya.
“Kalo Mega?” tanya si wanita, mendongak sesaat.
“Mega.. gila gendut banget!!”
Celetukan ngasal dari meja sebelah sontak membuat geger. Gelak tawa pun membahana. Cuaca yang kurang bersahabat tidak menghentikan mereka untuk bersantai sejenak dari rutinitas. Akhir pekan bagi sebagian orang mungkin adalah waktu yang tepat untuk leyeh - leyeh dan melupakan sejenak penatnya tumpukan pekerjaan, tapi tidak bagi orang – orang ini. Hari mereka justru sudah dimulai sejak ayam jantan masih dalam lelap tidur. Iwan Irawan (51) bersama dua rekan kerjanya, Yuli (48) dan Ubay (53), adalah satu dari sekian banyak orang yang membuka berbagai macam usaha di area JPG (Jalur Pipa Gas) Mountain Bike Park. Sedari pagi mereka memindahkan kotak – kotak plastik besar berisi barang dagangan dari bagasi mobil ke dalam toko sederhana yang mereka sewa seharga delapan juta rupiah per tahun.
“SELAMAT DATANG DI KAWASAN WAJIB HELM. UTAMAKAN KESELAMATAN ANDA”, spanduk kuning berukuran sedang terbentang gagah menyambut setiap orang yang datang ke kawasan favorit para penggila gowes. Sesuai dengan namanya, JPG adalah jalur pipa gas bawah tanah milik negara dengan medan tanah merah yang ekstrem. Salah satu founder komunitas JPG, Cing Udin, menyatakan kawasan itu tadinya sangat terabaikan karena tidak boleh ada bangunan konkrit berdiri di atasnya. Baru pada tahun 1995, ia bersama beberapa goweser (sebutan untuk para pesepeda, -red) berinisiatif untuk memanfaatkan jalur tersebut sebagai lintasan off road sepeda gunung. Dengan beberapa checkpoint yang memiliki tingkat kesulitan berbeda – beda, JPG sukses menarik perhatian masyarakat penggiat sepeda gunung. Tua, muda, pria, wanita, lokal bahkan interlokal pun tidak ketinggalan ingin menjajal ketajaman jalur roller coaster tersebut.
“Wah.. Kalo belom pernah sepedaan atau gelinding jatoh disini sih belom sah jadi pesepeda!”, ujar Cing Udin sambil melepas sarung tangannya. Ia baru saja menyelesaikan satu putaran, bulir keringat menetes dari dahinya. Jersey sepeda putih yang ia kenakan bernoda tanah merah di sana sini.
Dimana ada jalanan three – in – one, disitu pasti banyak joki ngetem. Inilah fenomena yang terjadi di kawasan yang juga merupakan trek MTB pertama di Indonesia. Kegiatan komunitas yang begitu hidup dan tidak pernah sepi pengunjung menciptakan prospek usaha bagi masyarakat sekitar, seperti yang dilakukan Iwan. Berawal dari hobi bersepeda, ia memulai usaha konveksi jersey khusus sepeda dan akhirnya memutuskan untuk membuka toko di JPG. Puluhan jersey dengan desain bervariasi tergantung rapi di hanger besi menarik perhatian para peminat. Tidak jarang satu – dua orang keluar dari toko FOCO (merk dagang jersey Iwan, -red) sambil menenteng tas belanjaan. Bahkan, seorang pria langsung memakai baju hasil belanjanya dan meneruskan bersepeda. Iwan menuturkan, proyek – proyek besar terus berdatangan semenjak ia membuka ruko di awal tahun 2011. Saat ini, akunya, FOCO sedang memproduksi jersey sepeda untuk Soekarno Hatta Cycling Community (SHCC) setelah sebelumnya ia terlibat proyek 900 buah jersey untuk KOMPAS – PERTAMINA Jelajah Sepeda Bali – Pulau Komodo 2012.
“Hari – hari biasa, kita lebih ngandelin pemesanan jumlah besar. Kalau di JPG saja, per harinya (Sabtu dan Minggu), FOCO bisa dapet sekitar tiga – empat juta (rupiah).” Ujar Iwan.
Tetapi Iwan tidak sendiri. Berjalan sedikit lebih jauh, terlihat banyak pedagang jersey sepeda dadakan di kanan kiri jalan. Mereka menjajakan jualannya di bagasi mobil terbuka lengkap dengan meja kecil tempat menata display. Disinggung soal persaingan, Rosiah, salah seorang pedagang, tergelak. Sambil menyusun tumpukan barang – barang jualannya, wanita paruh baya tersebut mengatakan persaingan adalah hal biasa. Ia percaya urusan desain dan harga adalah selera personal. Lagipula, masing – masing toko sudah memiliki pelanggannya tersendiri.
Setelah seharian berpeluh keringat menggenjot, giliran memenuhi permintaan perut yang terus – terusan berdemo minta diisi. Jangan khawatir harus bersepeda keluar area JPG untuk mendapatkan makan, karena di sekitar pelataran parkir banyak dijumpai warung makan atau tukang jualan keliling. Warung pop ice dan gorengan untuk mengganjal lapar pun hadir di sepanjang lintasan sepeda bagi para penggowes. Salah satu warung makan yang paling hits di JPG adalah Mpok Café. Waktu belum menunjukan jam makan siang, tetapi warung si Mpok sudah dijejali puluhan orang yang rela duduk berdempetan demi mendapat tempat. Tidak sedikit pula ada yang harus makan ala pesta kawinan, alias berdiri dengan piring di tangan. Denting suara sendok beradu dengan piring dibalap dengan gelegar tawa dan suara bas pria dewasa ikut meramaikan suasana hari itu. Yang namanya kafe, belum lengkap kalau tanpa musik, tapi jangan berharap anda akan menemukan live performance dari band lokal dengan suara merdu. Ndang… Ndut.. Blarr musik house dangdut berdentum keras dari pengeras suara tua tergantung di atas dinding anyaman bambu, setia menemai para pesepeda melahap makan siangnya.
Bisa dibilang, JPG merupakan kawasan all – in – one. Semua kebutuhan pesepeda lengkap disini, dari mulai masalah penampilan, perut, sampai jasa perbaikan dan cuci sepeda. Ya. Tidak peduli merek sepeda Centurion, Giant, Missile, Orbea, Federal, Polygon, ataupun United, mereka siap menyulap sepeda dekil anda menjadi bersih mengkilap. Bbrrrr… Semburan air dari selang yang terhubung ke tangki air mengguyur jejeran sepeda yang sengaja Adi, pencuci sepeda, gantung setinggi pinggang di atas palang bambu seadanya.
“Kerja gini emang harus ikhlas basah – basahan, neng! Kalo nggak ya saya nggak makan dong?” Adi hanya bisa tertawa. Kaos kutang yang ia kenakan kuyup oleh cipratan air, padahal saat itu dia baru saja menyelesaikan ronde pertamanya, tujuh sepeda sekaligus.
Setelah disemprot air, dengan telaten Adi menggosok satu demi satu barisan sepeda gunung itu dengan sabun. Busa – busa putih yang menutupi badan sepeda perlahan menetes jatuh ke tanah. Ketika dirasa cukup bersih, ia kemudian membilas semua sepeda bersamaan seperti pada langkah pertama. Dengan harga berkisar tujuh ribu sampai sepuluh ribu rupiah, cling! Sepada anda kembali seperti baru. Lain ceritanya jika sepeda anda mengalami “kecelakaan”. Sebenarnya, ada semacam peraturan tidak tertulis bahwa setiap pesepeda yang datang harus membawa peralatan standar untuk perbaikan sepeda, Tetapi, tidak perlu panik jika kerusakan yang dialami terlanjur parah. Tidak jauh dari Mpok Café, terdapat bengkel – bengkel sepeda sederhana yang siap menyembuhkan segala keluhan sepeda anda. Indra, salah satu pemilik bengkel yang juga sesama penggiat sepeda, mengatakan ide mendirikan bengkel miliknya berawal dari saling bantu satu sama karena dulu masih jarang terdapat bengkel sepeda sehingga menyulitkan para penggowes. Sampai sekarang, tempatnya juga dipakai untuk kumpul – kumpul dan sharing cara perawatan juga pengalaman tracking di JPG.
Kehidupan di Jalur Pipa Gas seperti memiliki dunianya sendiri. Bagaikan yin dan yang, berbagai macam komunitas bertemu dan saling berbagi pikiran, bertukar cerita, menciptakan ebuah harmoni yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tanpa disadari, Jalur Pipa Gas tidak hanya berfungsi sebagai arena refreshing para penggila sepeda, tetapi juga sekaligus menjadi jalur penyambung hidup masyarakat kecil. Siapa yang menyangka dari satu tempat terpencil dan terabaikan bisa membangkitkan nilai pariwisata daerah tersebut dan juga ekonomi masyarakat sekitar? (Ajeng Quamila)
No comments:
Post a Comment